NASAB ANAK ZINA
Hubungan Anak Gelap dengan Ayah Biologis
Di antara tujuan perberlakuan syariah
adalah menjaga keturuan (Hifdz an-Nasl), sehingga diberlakukanlah hukum
perkawinan dalam Islam. Dengan perkawinan status hubungan nasab antara ayah-ibu
dan anak menjadi jelas, dan bahkan menjadi solusi sosial. Sebab, kejelasan
status berkaitan erat dengan hubungan keduanya dalam hal perwalian, perawatan,
pewarisan dan sebagainya.
Selanjutnya, bagaimana tinjauan fikih
atas hubungan antara anak hasil zina dengan orang tuanya? Sebelum itu, perlu
mengenal terlebih dahulu yang dimaksud anak zina dalam syariah. Apakah harus
ada hubungan intim, atau juga yang lain?
Baca Juga “ Nikah Belakangan, Hamil Duluan” (NBHD)
Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud anak
zina adalah anak yang dilahirkan melalui cara diluar ketetapan syara’ atau
buah dari hubungan haram. Sementara itu, dihukumi sama dengan
zina adalah pertumbuhan janin dari seperma yang dikeluarkan dengan cara
tidak terhormat (Ghair Muhtaram). Dengan demikian, anak zina adalah anak
hasil hubungan gelap, baik melalui perzinahan atau proses yang tidak terhormat.
Menurut ‘Ali Syibramallisi, termasuk juga Imam
Ramli, terhormat dan tidaknya seperma yang keluar tergantung saat
keluarnya. Jika keluarnya tidak terhormat, dalam arti melalui proses yang
dilarang oleh syara’ maka seperma yang keluar dihukumi Ghair Muhtaram. Akan
tetapi, menurut Imam Nawawi, Muhtaram dilihat dari dua sisi, keluar
dan masuknya seperma.
Seperma Ghair Muhtaram adalah
seperti dikeluarkan dengan cara masturbasi atau karena dipermainkan oleh
tangan selain isterinya. Jika seperma tersebut kemudian dimasukkan ke rahim
istrinya maka anak yang lahir tidak dinilai Muhtaram, sama dengan anak zina.
Hanya saja, dalam hal perkawinan kasus ini terjadi pengecualian.
Berbeda jika dikeluarkan dengan cara
halal, seperti dipermainkan oleh tangan istrinya, lalu seperma yang keluar
dimasukkan ke orang lain, maka sang anak dihukumi Muhtaram dan tetap intisab
pada pemilik seperma. Meskipun, dalam segi hukum perbuatan tersebut searti
dengan zina karena telah memasukkan seperma orang lain tanpa melalui ikatan
nikah. Bagi yang memandang bahwa Muhtaram juga dari segi memasukkannya, tentu
juga dihukumi Ghair Muhtaram.
Berkaitan dengan hubungan nasab anak
zina—termasuk juga seperma Ghair Muhtaram—dengan pemilik seperma ini dalam
madzhab Syafi’i tidak ada hubungan nasab (Ghair Intisab) dengan ayah
biologisnya. Ia hanya berjalur nasab dengan sang ibu dan ketententuan ini,
menurut Imam Rafi’i adalah Ijmak. Implikasi dari hukum ini, sang anak baginya
seperti orang lain yang tidak terikat dalam hal perwalian, pewarisan dan bahkan
boleh dinikahi jika sang anak perempuan. Akan tetapi, hal ini makruh dilakukan
karena keluar dari khilaf ulama yang melarangnya.
Namun demikian, dalam kasus seperma Ghair
Muhtaram, jika dimasukkan ke rahim istrinya, putrinya, ibunya atau ke
saudarinya, anak yang keluar tidak boleh dikawin. Larangan ini, bukan dari
unsur intisab setelah pengeluaran seperma yang Ghair Muhtaram, melainkan dari
unsur hubungan para perempuan tersebut dengan dirinya yang memiliki kaitan yang
sama dengan kasus sesuaan dalam bab Radha’.
Contoh kasus, seorang pria terjadi
hubungan zina dengan seorang perempuan, lalu seperma pada perempuan tersebut
dikeluarkan dan dimasukkan ke rahim isteri pria tersebut. Dari sudut anak hasil
seperma Ghair Muhtaram memang tidak dilarang mengawini anak perempuan yang
keluar dari perut sang isteri, tetapi dari sudut bahwa ia adalah isterinya,
maka ia tidak halal dikawin karena sama dengan anak sesuan.
Hukum dalam madzhab Maliki sama dengan
madzhab Syafi’i. Yang berbeda adalah pandangan madzhab Hanbali dan Hanafi yang
menyatakan bahwa perzinahan dapat menetapkan hubungan Mushaharah (Mertua).
Implikasinya, ayah biologis haram mengawini putri hasil perbuatan zina
tersebut. Bahkan, hukum ini menyebar ke beberapa orang terdekatnya. Jika ada
seseorang berzina maka anak hasil zina berikut ibu perempuan yang dizinahi
tidak boleh dikawin. Jika perzinahan terjadi dengan ibu mertuanya, maka sang
istri haram baginya selamanya.
Dalam hal ini, menurut madzhab Hambali,
tidak ada perbedaan apakah perzinahan tersebut melalui Qubul atau Dubur,
sehingga umpama terjadi liwath (sodomi) dengan anak laki-laki maka juga
menetapkan keharaman: Pewathi’ haram mengawini ibu laki-laki dan anaknya,
demikian pula bagi laki-laki tersebut haram mengawini ibu dan anak pewathi’.
Lebih ekstrim lagi, pendapat Hanafiyah yang mengatakan bahwa Musharahah bisa
terjadi melalui semi zina, seperti mencium dan memegang dengan syahwat.
Meskipun demikian, dalam hukum waris anak
zina tetap tidak mendapat hak waris dari ayah biologisnya. Ia hanya mendapat
warisan dari sang ibu, berikut kerabatnya dari jalur ibu. Hukum ini menjadi
ijmak madzhab empat. Alasannya, perwarisan adalah nikmat yang diberikan Allah
bagi ahli waris, sehingga tidak boleh tejadi melalui hubungan lacur (Jarimah).
Demikian pula, jika anak zina meninggal, warisannya jatuh ke ibu berikut
kerabatnya. Hukum ini, tentu sama dengan pandangan Syafi’iyah dan Maliki,
sehingga terbilang ijmak.
Dari pemaparan di atas, setidaknya kita
tahu bahwa perzinahan berimplikasi pada persoalan yang sangat besar, baik
secara agama mapun sosial. Korban utama dalam perzinahan adalah anak, walaupun
mereka tidak melakukan dosa, tetapi terkena imbasnya. Solusi tepatnya adalah
melalui pernikahan yang sah sehingga semua persoalan di atas menjadi selesai.
Sumber: Masyhuri
Mochtar/alumni Pondok Pesantren Sidogiri asal Pasuruan
Comments
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog ini, Berkomentarlah yang baik dan sopan, Dilarang memasukkan Iklan,Promosi dll.